Penjajahan Melalui Monopoli Teknologi

Print Friendly, PDF & Email

Hubungan Antara Teknologi, Globalisasi, dan Kapitalisasi

‘…the fact that technology serves this society only by producing commodities.’
Walter Benjamin

GLOBALISASI. Kata ini tentu tak asing lagi bagi kita dewasa ini. Ia hadir dalam buku-buku, dalam program-program pemerintah, di berita-berita dan film, dan dalam kesadaran kita ketika mengenyam pendidikan: bahwasanya pendidikan kita sekarang bertujuan agar kita mampu bersaing dalam kompetisi global. Globalisasi juga tak perlu dicari jauh-jauh contohnya; saya sedang duduk dan mengerjakan tulisan ini pun adalah salah satu contohnya. Sambil mengetik, suara Patricia Kaas yang menyanyikan Les Moulins de mon coeur terdengar dengan merdunya dari loud speaker, lantas saya menulis di twitter, ‘#np Patricia Kaas sambil ngopi dan ngegorengan; think globally, drink locally.’

Dari contoh saya yang sedang mengetik makalah di atas nyatalah bahwa globalisasi itu dekat sekali dengan teknologi. Bahkan, boleh dikatakan, teknologilah yang memungkinkan terjadinya globalisasi. Selain teknologi, bicara tentang globalisasi adalah juga bicara tentang daya beli; dari contoh tadi tentulah saya dimungkinkan mendengarkan Patricia Kaas karena sebelumnya saya dengan entah cara yang mana ‘membeli’ lagu tersebut dan saya yang mengakses twitter dimungkinkan oleh berapa paket internet yang saya konsumsi dalam sebulan. Jika kita tarik lebih jauh lagi maka yang memungkinkan saya melakukan semua itu adalah juga kebijakan politik ekonomi dari pemerintah Indonesia sendiri; karena saya membelinya dari pasar yang dimungkinkan ada oleh kebijakan tersebut dan saya berinternet ria karena kebijakan atas ‘udara’ Indonesia memungkinkan hal itu.

Membicarakan globalisasi menarik juga untuk melihat hubungan antara globalisasi, ekonomi, dan politik. Tulisan ini adalah salah satu upaya membicarakan hubungan ketiga hal tersebut.

Teknologi Melahirkan Globalisasi

David M. Kaplan mengatakan, Teknologi Informasilah kunci dari proses globalisasi. Dari penemuan satelit hingga penemuan perangkat komputer canggih dan pembangunan jejaring internet adalah inovasi Teknologi Informasi yang memungkinkan proses globalisasi. Manuel Castells melihat inovasi Teknologi Informasi ini sebagai sebuah revolusi yang sama pentingnya sebagai penanda sebuah zaman dengan revolusi industri pada abad ke-18 dan ke-19. Revolusi tersebut dimulai dari teknologi rekayasa mikro (micro-engineering) dalam tiga bidang yakni elektronika mikro, komputer, dan telekomunikasi.

Selain rekayasa mikro, globalisasi juga dimungkinkan oleh penemuan teknologi satelit yang lantas mendorong berkembangnya teknologi televisi. Perkembangan teknologi televisi pada era 1960-an dan 1970-an, mendorong Marshal McLuhan menggambarkan globalisasi sebagai dunia yang seperti sebuah kampung global, di mana produk budaya yang dikonsumsi oleh manusia di segala penjuru dunia sama. McLuhan membahasakan hal ini ketika fenomena yang dilihatnya adalah industri televisi berkembang dengan pesat di dunia. Perkembangan teknologi televisi terus berkembang sejak hanya bisa berwarna hitam putih hingga berwarna, serta juga mencapai apa yang dikenal sekarang dengan televisi digital, yang sedikit lagi akan ada di Indonesia.

Di sisi lain, internet berkembang pada awalnya dalam rangka perang dingin. Militer Amerika Serikatlah yang pertama kali mengembangkan hal ini dalam rangka membangun sebuah sistem komunikasi yang aman, tidak rawan serangan nuklir, dan independen dari pusat-pusat pengendali militer. Hal ini kemudian melahirkan ARPANET, sebuah jaringan komputer pertama, hasil kerja sama Departemen Pertahan Amerika Serikat dengan beberapa kampus negeri tersebut. Sedangkan teknologi www (world wide web) baru ditemukan pada 1990 oleh CERN (Centre EuropÉen pour Recherche Nucleaire). Mereka menciptakan bentuk dokumen hiperteks (HTML: hypertext markup language). HTTP ini berfungsi sebagai pedoman komunikasi antara pengguna (web browser) dan penyedia (web server). Mereka juga menciptakan URL (uniform resource locator) yang mengombinasikan informasi pada aplikasi dan pada alamat komputer yang memiliki informasi tersebut. Sejak itu mulai dikembangkan, makin banyak bermunculanlah segala macam perangkat lunak untuk ‘berselancar’ di dunia maya.

Teknologi telekomunikasi, yang bentuk terbarunya sekarang bisa kita lihat pada handphone canggih android, misalnya, dimulai pada 1969 ketika para ilmuwan di Bell Labs menemukan saklar elektronik. Pada 1970-an ditemukanlah ISDN (integrated broadband network) yang menggunakan kabel tembaga sebagai sarana untuk mengalirkan pulsa-pulsa informasi. Pada 1990-an, teknologi telekomunikasi mengalami perkembangan yang teramat pesat. Beberapa temuan teknologi pada dekade ini yang penting adalah penemuan teknologi serat optik (opto-electronic), IBN (integrated broadband network) yang menyempurnakan ISDN. Tulang punggung jaringan seperti internet pun ditemukan yakni TCP/IP (transmission control protocol/interconnection protocol). Pada dekade ini juga digunakanlah spektrum radio dalam bentuk siaran tradisional (traditional broadcasting), siaran langsung satelit (direct satellite broadcasting), gelombang mikro (microwaves) dan telepon seluler digital.

Perkembangan teknologi bidang informasi dan telekomunikasi inilah yang menciptakan wajah dunia seperti sekarang ini. Globalisasi merupakan proses mengglobal. Dengan perangkat internet, perangkat telekomunikasi, proses mendunia itu dimungkinkan; anda mendapat informasi tentang penembakan puluhan siswa SD di Amerika Serikat atau nongkrong di warung pojok STF Driyarkara, membicarakan betapa serunya derby dua klub sepak bola sekota Manchester City FC dan Manchester United FC oleh jasa telekomunikasi; anda pun bisa mengunduh film pendek anda ke situs youtube dan mendapatkan apresiasi dari kolega yang ada di London misalnya oleh jasa internet.

Pengglobalan dan Teknologi untuk Kapitalisme

David M. Kaplan mengutarakan ciri khas globalisasi demikian:

Globalisasi biasanya mengacu pada proses dimana sistem kapitalis menyebar di seluruh dunia dan mengkonsolidasikan tatanan ekonomi, budaya, dan politik bangsa menjadi suatu masyarakat dunia. Globalisasi termasuk juga perluasan hubungan global, liberalisasi perdagangan dan mata uang, dominasi kehidupan budaya Barat, peningkatan perjalanan internasional dan imigrasi, dan proliferasi teknologi informasi yang mengarah pada saling ketergantungan dari negara dan, pada akhirnya, menciptakan sebuah komunitas global nan tunggal.

Globalisasi dengan demikian tak bisa dilepaskan dari proses kapitalisasi. Segala perangkat internet dan telekomunikasi yang menjadi tulang punggung globalisasi tadi, sesungguhnya menjadi penunjang dari perdagangan yang meluas, ketergantungan antar satu negara dan negara yang lain, membawa dunia ke dalam sebuah sistem ekonomi yang sama; ekonomi kapitalisme.

Globalisasi tak pelak lagi adalah sebuah versi baru dari sistem kapitalisme (secara ekonomi) yang seiring sejalan dengan sistem liberalisme (manifestasinya dalam politik). Sistem liberalisme berusaha melepaskan pengaturan dari pihak mana pun dan membiarkan pasar sendirilah yang menentukan nasibnya. Kenichi Ohmae memberi pernyataan yang menarik perihal ekonomi dan melemahnya peran negara tersebut. Menurutnya, berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengatakan bahwa sejarah telah berakhir, yang sesungguhnya berakhir adalah negara-bangsa. Contoh kecil hilangnya kekuatan negara bangsa adalah nasib seorang masyarakat kecil di pusat kota Jakarta, tidak lagi ditentukan secara penuh oleh negara melainkan oleh salah satu perusahaan mobil Jepang yang hendak membangun show room di tempat tinggal si masyarakat kecil itu. Lebih lanjut, Kenichi Ohmae menulis:

Sejarah belum berakhir, justru kini makin banyak orang-orang yang ingin ikut ambil bagian dalam sejarah. Namun, ketika mereka mencari perlindungan dan sumber-sumber ekonomi, ternyata negara sudah tidak berperan. Ternyata penentu dalam perekonomian pasca-sosialisme ini adalah kelompok-kelompok ekonomi lintas negara seperti OPEC, G7, ASEAN, APEC, NAFTA, EU.

Munculnya organisasi-organisasi bertaraf dunia yang mengatur aspek-aspek penting memandulkan peran negara sekaligus menjadi penentu utama perkara ekonomi. Yang paling kentara terlihat adalah peran WTO (World Trade Organization), yang menjadi regulator atas perekonomian dunia lintas negara dengan beranggotakan paling kurang 150 negara. Melemahnya peran negara dan digantikan dengan organisasi-organisasi bertaraf internasional dan juga korporasi-korporasi bertaraf internasional menunjukkan bagaimana globalisasi adalah juga sebuah sistem perekonomian yang terintegrasi dengan penentu dan penguasa utamanya hanyalah segelintir kalangan saja.

Bukan hanya itu, globalisasi pun adalah juga sebuah monopoli produksi kebudayaan tertentu. Perlahan-lahan budaya tertentu, budaya ‘Barat’ sajalah yang menjadi konsumsi warga dunia. Marhsal McLuchan menyebutkan dunia akan menjelma sebuah kampung global ketika menyambut munculnya televisi di era 1950-1960an. Betapa tidak. Produk televisi dari Amerika, misalnya, bisa ditonton oleh penduduk di Afrika. Melalui media yang mampu menjangkau keseluruhan dunia inilah monopoli budaya ‘Barat’ dimungkinkan. Dunia tak menunggu lama untuk membuktikan ini. Setelah televisi muncul, tak sampai setengah abad kemudian benih-benih monopoli budaya itu sudah mulai terasa. Adalah serial televisi Dallas dari Amerika yang pertama kali menjadi penanda monopoli budaya ‘Barat’ pada dekade 1980-an. Menurut penelitian Ien Ang, Dallas menjadi tontonan kala itu untuk wilayah dari Turki sampai Australia dan dari Hongkong sampai Inggris Raya.

Dallas memang sebuah opera sabun yang menghibur dan dengan demikian sangat digemari oleh masyarakat. Namun demikian, bahkan seorang Menteri Kebudayaan Prancis, Jack Lang, mencapnya sebagai simbol dari imperealisme budaya Amerika, yang bukan saja sebagai bukti semata dari imperialisme itu, melainkan juga sebuah ancaman atas budaya nasional yang otentik dari budaya Amerika yang komersil.

Padahal, untuk beberapa kalangan—dari budaya lain selain budaya Amerika Serikat— menganggap budaya Amerika sebagai budaya dengan moralitas yang minim. Maka menjadi wajarlah apa yang ditakutkan oleh seorang menteri dari Trinidad pada 1980-an:

Jika kita pergi ke St. Vincent atau Grenada, kita akan mendapatkan akses ke sekitar delapan stasiun TV Amerika. Akibatnya benar-benar merupakan malapetaka bagi negeri-negeri itu. Benar-benar naas bahwa ada negara yang tak kuasa menyediakan panduan moral sebab dunia luar—dengan memakai kemajuan teknologinya—telah mengambil alih peran tersebut. Ini seperti orang mabuk yang menyetir mobil.

Kutipan ini menunjukkan pula bahwa bagaimana peran negara-bangsa tertentu kehilangan kekuatannya. Namun demikian, di dalam proses globalisasi itu sendiri ternyata ada negara-bangsa lain yang menguat perannya dan lantas menyusup masuk dengan kekuatan kemajuan teknologinya untuk mengambil alih peran negara-bangsa yang lain. Di satu sisi ada negara-bangsa yang melemah namun di sisi lain ada negara-bangsa yang semakin menguat dan mengambil alih tugas dan peran negara-bangsa yang melemah tersebut.

Globalisasi yang bertumpu pada kemajuan teknologi bersandingkan dengan sistem politik liberal dan sistem ekonomi kapitalisme, lantas menciptakan sebuah bentuk baru kapitalisme yang sering disebut dengan ‘kapitalisme lanjut’ atau juga ‘post-fordisme.’ Ini adalah sebuah bentuk kapitalisme baru yang bertumpu pada penggunaan teknologi informasi. Pengetahuan atas teknologi informasi menjadi sebuah modal baru yang tak terperi nilainya; para pekerja dengan kecakapan di bidang teknologi informasi menjadi tenaga kerja yang dibayar mahal oleh industri. Pasar yang bertumpu pada teknologi informasi tidak lagi pasar secara fisik yang harus didatangi oleh pembeli.

Pasar dari ‘post-fordisme’ ini adalah pasar yang menyusup masuk ke dalam segala ruang apa pun; bahkan ketika anda tengah duduk santai di beranda rumah anda, ‘penjual’ datang dalam rupa sms di telepon genggam anda untuk menawarkan sebuah apartement yang baru dibangun di wilayah selatan kota anda. Melalui jejaring sosial semacam facebook atau pun twitter, anda pun mengidentifikasikan diri anda pada ‘pasar’ tertentu. Awalnya anda hanya mengklik like pada laman home facebook anda pada tautan barang-barang tertentu dan selanjutnya gambar-gambar barang ditambah keterangan-keterangannya akan datang sendiri ke laman dinding pribadi facebook anda. Uang yang beredar pun bukanlah lagi uang real dalam rupa kepingan logam atau lembaran kertas di dalam dompet anda; dia hanya berupa digit-digit angka digital sebagai penanda bagi uang real anda. Bisa saja anda tak bertemu langsung dengan uang real anda; gaji bulanan seketika masuk ke rekening anda dan juga dikeluarkan dari rekening anda melalui kartu kredit di sebuah tokoh buku atau restoran siap saji.

Namun demikian bukan berarti ‘post-fordisme’ ini terlepas sungguh-sungguh dari komoditas-komoditas real yang kasat mata dan kerja-kerja fisik yang benar-benar berbau keringat. ‘Post-fordimse,’ saya kira, membentuk sebuah manajemen kerja baru di atas manajemen kerja yang lama.

Teknologi sebagai Komoditas

Teknologi, seberapa pun besar sumbangannya, hanyalah komoditas bagi masyarakat sampai saat ini. Demikian ujar Walter Benjamin sebagaimana yang kita kutip pada awal tulisan ini. Apa yang dimaksudnya dari kalimat ini? Komoditas, menurut Karl Marx, adalah sumber dari kesejahteraan manusia dalam dunia kapitalisme. Namun untuk mendapatkan komoditas ini manusia harus menggunakan uang sebagai penukarnya. Hubungan antara uang, komoditas dan manusia dimungkinkan oleh kerja. Melalui kerja tertentu, komoditas tercipta, dan melalui kerja tertentu pula uang tercipta untuk manusia, dan melalui kerja tertentu pula uang menjadi komoditas untuk dikonsumsi manusia. Sebelum masuk lebih jauh ke perkara ini, baiklah kita menggambarkan hubungan ini dalam ilustrasi di bawah ini.

Anggaplah Si Fulhan bekerja sebagai moderator diskusi di forum diskusi, sebagai contoh ,misalnya, kaskus. Ia bekerja—tidak perlu ke kantor, bisa di rumah saja—dari pukul sembilan pagi hingga empat sore dengan tugas memoderatori diskusi yang terjadi di forum tersebut. Ia tahu dari facebook pribadinya bahwa seorang kawannya baru saja menerbitkan buku kumpulan cerpen. Ia lantas, melalui situs toko buku online, katakanlah, bukabuku.com memesan buku tersebut. Melalui telepon genggamnya dengan aplikasi e-banking Fulhan pun mentransfer sejumlah rupiah ke rekening resmi bukabuku.com lantas ia mengirimkan bukti transfer tersebut ke bukabuku.com melalui email. Beberapa hari kemudian, buku tersebut sampai di rumah Fulhan, diantarkan oleh seorang petugas dari Tiki, sebuah perusahan jasa penitipan barang.

Fulhan adalah salah satu contoh pekerja di era kapitalisme lanjut yang bertumpu pada kemampuan penggunaan teknologi informasi. Tentu yang memungkinkan kerja Fulhan adalah para pekerja kasar di sebuah pabrik pembuatan laptop atau pc yang bertebaran di negara Cina dan juga tukang angkut pelabuhan di negara itu mau pun di Pelabuhan Tanjung Priok. Fulhan pun dimungkinkan untuk membeli buku dari bukabuku.com oleh orang yang serupa kerjanya dengannya di bukabuku.com. Keduanya tentu saja bertumpu pula pada pekerja kasar di sebuah percetakan dan juga di gudang perusahaan Tiki. Selain itu, Fulhan juga butuh seorang teller atau web master dari bank-nya.

Fulhan menciptakan komoditas melalui kerjanya berupa sebuah diskusi forum diskusi yang menarik di kaskus, dan pekerja bukabuku.com pun menciptakan komoditas berupa informasi dan jasa diantar ke tempat dari komoditas lain, yakni buku kumpulan cerpen kawan Si Fulhan. Komoditas-komoditas ini secara real memang tak nyata dalam pasar yang berbasiskan teknologi informasi. Tetapi komoditas ini ada secara nyata (buku tersebut misalnya secara nyata ada dalam sebuah gudang) dan ada kerja nyata yang memungkinkannya ada. Kerja Fulhan yang seakan menciptakan komoditas yang bukan tiga dimensi tersebut pun ditopang oleh sebuah kerja nyata dan perangkat-perangkat yang nyata. Realitas yang tak tersentuh secara indrawi dengan demikian bertumpu pada seusatu yang nyata.

Jika contoh kasus Fulhan tadi kita tarik lebih jauh maka kita pun bisa sampai pada kesimpulan bahwa penguasa utamanya adalah sebuah perusahaan multinasional dari Amerika, sebutlah Microsoft. Andaikan saja Microsoft ini punya pabrik di Cina, yang mana dari sanalah Fulhan mendapatkan Pc-nya; Microsoft ini punya perwakilan di Jakarta yang memasarkan software mereka yang menjadi basis kerja dari Kaskus dan Bukabuku.com. Maka, kesimpulan kita adalah penguasa utama dari segala komoditas yang tercipta dari contoh Fulhan di atas adalah Microsoft.

Teknologi informasi yang menurut Jacques Ellul berkembang dalam logikanya sendiri, akibat sistem perekonomian kapitalisme dan politik liberalisme menjelma sebuah modal raksasa yang dikuasai hanya oleh Microsoft semata. Jika Ellul benar—katakanlah bahwa teknologi pada dirinya tak punya salah apa-apa atas sebuah penjajahan dalam ranah kerja—maka kesalahan itu ada pada sistem perekonomian dan sistem politik yang menempatkan teknologi itu pada posisi tertentu; yakni posisi sebagai komoditas yang berharga.

Penutup

Globalisasi pertama-tama dimungkinkan oleh teknologi; teknologi yang bersifat menentukan dan ditentukan oleh dirinya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan teknologi memungkinkan dunia berada dalam satu kesatuan. Namun ketika teknologi dimanfaatkan sebagai modal dalam kerangka kapitalisme, maka segala kemungkinan baru yang terus dan terus ditawarkan oleh teknologi menjelma komoditas baru. Inilah mungkin kenapa relevan kritikan Manuel Castell kepada Luchan bahwa globalisasi tidak hanya menciptakan satu kampung global namun menciptakan sebuah jejaring laba-laba global; dunia tidak menjadi satu komoditas saja (sebuah tayangan televisi ditonton oleh semua orang di seluruh dunia) melainkan dunia menjadi berjuta-juta komoditas yang ditawarkan ke seluruh dunia (berjuta-juta tayangan televisi hadir di hadapan kita dan kita tinggal memilihnya).

Segala kebijaksanaan politik—politik yang menguasai dunia saat ini adalah liberalisme—lantas turut memuluskan jalan menciptakan globalisasi sebagai sebuah pasar besar untuk kapitalisme. Dengan kemajuannya teknologi yang berada di bawah logika kapitalisme menciptakan spesifikasi kerja baru dan juga komoditas baru; dan, manusia di seluruh penjuru dunia lantas menjadi konsumen sekaligus pekerja untuk komoditas baru itu yang dimungkinkan oleh modal teknologi dan pengetahuan atasnya yang dikuasai oleh segelintir kalangan saja. Dari posisi ini teknologi turut melanggengkan sebuah tatanan masyarakat yang sama seperti pada masa industri berat atau Masa Fordisme. Di hadapan teknologi yang demikian, masyarakat haruslah pandai-pandai menggunakan teknologi sebagai komoditas itu sendiri. Tidak sekadar menjadi konsumen tetapi konsumen yang terjaga dalam pengertian menggunakan teknologi informasi sebagai cara memperkuat dirinya dan mencoba melawan dominasi-dominasi yang terjadi.

Salah satu contoh yang patut kita perhatikan untuk hal ini adalah usaha untuk melawan apa yang disebut HAKI oleh beberapa kalangan. HAKI bisa jadi kita lihat sebagai wajah baru dari hal yang sama dengan konsep penguasaan tanah dan mesin-mesin besar di zaman Fordisme. Ketika dunia memasuki era ‘Post-Fordisme’ maka HAKI adalah penguasaan atas modal baru yakni pengetahuan. Perlawanan terhadap HAKI dengan demikian bisa dijadikan salah satu contoh kecil dari usaha melawan kapitalisme yang membawa teknologi menjelma sebuah sistem penciptaan komoditas.***

Berto Tukan, mahasiswa STF Driyarkara, anggota redaksi Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS (LKIP)

Kepustakaan:

Benjamin, Walter, ‘Eduard Fuchs: Collector and Historian,’ New German Critique, No. 5, Spring, 1975.

Lechner, Frank J., dan John Boli (eds.), The Globalization Reader, (Oxford: Blackwell Publisher., 2009.

Marx, Karl, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen, Jakarta: Hasta Mitra, 2004.

Olsen, Jan Kyrre Berg, Stig Andur Pedersen, dan Vincent F. Hendricks, (eds), A Companion to the Philosophy of Technology, Oxford: Blackwell Publishing Ltd., 2009.

Smiers, Joost, Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, diterjemahkan oleh Umi Haryati, Yogyakarta: INSISTPress, 2009.

Tumenggung, Adeline M., Laba-laba Media: Hidup dalam Galaksi Informasi Menurut Pemikiran Manuel Castells, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2005.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.